September 20, 2010

ADA 3 JENIS GURU, ANDA TERMASUK YANG MANA ?

By Munif Chatib
Dalam minggu ini penulis banyak menerima undangan berbicara dalam acara halal bihalal beberapa sekolah. Hampir kebanyakan yang hadir adalah semua pengurus yayasan, kepala sekolah dewan guru dan semua karyawan yang bekerja di sekolah tersebut. Seorang kawan yang kebetulan menjadi direktur di sebuah sekolah membisikkan sesuatu yang penting sebelum saya naik panggung.
“Pak Munif tolong beri motivasi dan semangat para guru ya agar mereka lebih baik lagi dalam bekerja”.
Memang sekolah sebagai institusi yang didalamnya wajib membutuhkan sentuhan manajemen sumber daya manusia, sebagai maqom manajemen yang tertinggi, guru adalah komponen yang maha penting.
Bahkan kualitas pendidikan bangsa ini banyak ditentukan oleh kualitas para gurunya. Guru adalah ‘bos in the class’. Guru adalah orang yang bertatap muka langsung dengan peserta didik. Artinya roda komunitas yang bernama sekolah sangat diwarnai oleh kinerja para gurunya.
Pentingnya peranan dan kualitas seorang guru berdampingan dengan banyaknya problematika yang dihadapi oleh para guru. Hal yang mendasar pada problem tersebut adalah ‘KEMAUAN’ untuk maju. Apabila kita percaya tidak ada siswa yang bodoh dengan multiple intelligences-nya masing-masing, maka kita juga harus percaya bahwa ‘tidak ada guru yang tidak becus mengajar’. Hanya saja kenyataan yang terjadi adalah keengganan guru untuk terus belajar dan bekerja dengan baik disebabkan oleh tidak adanya ‘KEMAUAN’ untuk belajar dan maju.
Saya sangat setuju dengan pernyataan seorang teman yang memimpin sebuah sekolah yang berkualitas. “Pak Munif tidak semua guru lho mau diberikan pelatihan. Jika seperti itu maka sebagus apapun materi dan kemasan dalam pelatihan itu, biasanya guru tidak akan berhasil mengambil manfaat dari pelatihan itu. Oleh sebab itu, saya merancang sebuah sesi pendaftaran kepada guru-guru saya yang ‘MAU’ ikut pelatihan dengan batasan waktu. Dari situ saja saya sudah tahu, mana guru yang ‘tertarik’ dan ‘tidak tertarik’.
Dua tahun yang lalu pemerintah memulai melaksanakan program sertifikasi guru. Program ini sebenarnya diawali dari sebuah hipotesa, bahwa guru yang professional dan berkualitas akan terwujud apabila kesejahteraannya mencukupi. Sebaliknya jangan harap seorang guru akan professional, jika kesejahteraannya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.
Beberapa bulan yang lalu, ternyata hipotesa itu terjawab. Dari data statistik yang dianalisa oleh teman-teman asesor menyebutkan bahwa para guru penerima tunjangan profesi yang cukup besar, ternyata belum menunjukkan kemajuan kualitas dalam proses mengajarnya. Mereka tidak berubah, mengajar biasa-biasa saja. Meskipun mereka sudah menerima tunjangan profesi sebagaimana yang diharapkan pemerintah untuk menjadi guru yang professional dengan berbagai kriteria yang sudah ditentukan dalam proses sertifikasi guru.
Jadi menurut penulis ada hipotesa baru, yaitu ‘besarnya penghasilan guru belum tentu menjadi penyebab berkembangnya kualitas guru dalam bekerja’.
Dilihat dari faktor ‘KEMAUAN’ untuk maju, maka ada 3 jenis guru.
Pertama, ‘GURU ROBOT’, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk, mengajar, lalu pulang. Mereka yang peduli kepada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi. Apalagi kepedulian terhadap masalah sesame guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan peritnah berdasarkan apa saja yang sudah di programkan. Guru jenis ini banyak sekali menggunakan ungkapan seperti ini.
“Wah …itu bukan masalahku…itu masalah kamu. Jadi selesaikan sendiri ….” Atau
“Maaf aku tidak dapat membantu … sebab hal ini bukan tugas saya…”.
Kedua, ‘GURU MATERIALIS’, yaitu guru yang selalu melakukan hitung-hitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual beli atau yang lainnya. Parahnya yang dijadikan patokannya adalah ‘HAK’ yang mereka terima. Barulah ‘KEWAJIBAN’ mereka akan dilaksanakan sebesar tergantung dari HAK yang mereka terima. Guru ini pada awalnya merasa professional, namun akhirnya akan terjebak dalam ‘KESOMBONGAN’ dalam bekerja. Sehingga tidak terlihat ‘benefiditasnya’ dalam bekerja. Ungkapan-ungkapan yang banyak kita dengan dari guru jenis ini antara lain:
“Cuma digaji sekian saja … kok mengharapkan saya total dalam mengajar… jangan harap ya …”.
“Percuma mau kreatif, orang penghasilan yang diberikan kepada saya hanya cukup untuk biaya transport…”.
“Kalau mengharapkan saya bekerja baik, ya turuti dong permintaan gaji saya sebesar …..”.
Dan seterusnya …
Ketiga, ‘GURUNYA MANUSIA’, yaitu guru yang mempunyai keikhlasan dalam hal mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswanya berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas untuk introspeksi apabila ada siswanya yang tidak bisa memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar. Sebab mereka sadar, profesi guru adalah makhluk yang tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan mengembangan.
GURUNYA MANUSIA , juga manusia yang membutuhkan ‘penghasilan’ untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bedanya dengan GURU MATERIALIS, GURUNYA MANUSIA menempatkan penghasilan sebagai AKIBAT yang akan didapat dengan menjalankan kewajibannya. Yaitu Keikhlasan mengajar dan belajar.
Sudah banyak contoh yang mana rizki seorang guru tiba-tiba diguyur oleh Allah SWT dari pintu yang tidak terduga, atau dari akibat guru tersebut terus menerus belajar.
Ada teman guru yang mendapatkan kesempatan ‘belajar’ di luar negeri sebab mempunyai prestasi dalam membuat lessonplan. Ada teman guru mendapatkan rizki sebab dengan tekun menulis buku ajar untuk siswa di sekolah tempat dia bekerja. Ada teman guru yang menulis kisah-kisah yang unik yang dialami di kelas pada saat dia belajar. Ada teman guru yang sekarang menjadi ‘bintang’ banyak sekali dibutuhkan pemikiran-pemikirannya untuk banyak guru di Indonesia, dan lain-lain.
Walhasil, Allah tidak maha mendengar. Maha melihat dan maha mengetahui apa yang dinginkan oleh hambanya yang bertawakkal.
Sekarang … tundukkan wajah sejenak. Ambil nafas … lakukan instropeksi. Anda termasuk guru jenis yang mana? Bagaimanapun anda. Sekarang anda sudah tahu harus bagaimana menjadi seorang guru yagn professional.

Disadur dari : http://www.lazuardiinsankamil.blogspot.com/ Tanggal 20 September 2010

Januari 18, 2010

Aku Menangis Untuk Adikku sebanyak 6 Kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber- cucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.

Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata- kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Sumber: Diterjemahkan dari "I Cried For My Brother Six Times"